Ku pandangi atap bumi kemerah-merahan dari mentari yang sedang turun perlahan di balik cakrawala. Apa yang istimewa dari fana merah jambu itu? sampai-sampai penyair dari ujung demi ujung acap kali memujanya, menyanjungnya, bait demi bait seraya berkata, seolah tak ada yang paling indah selainnya. Hembusan angin senja meniupku, kantuk dibuatnya.
Debur ombak pantai di ujung timur pulau Jawa itu datang dengan kilat, seolah tak terima oleh gumamanku. “Bukalah hati hitamu tentang senja itu, agar kau merasakan keindahan lukisan Tuhan satu ini!” Dirinya seolah terpanah menatap pertujukan pembuka malam di depannya. Laki-laki ini sudah seperempat hari bersamaku.
“Ya.” kataku tak acuh.
Angin terus berhembus, dan seperti angin itu juga, semuanya tiada berkesan. Hatiku berteriak, meneriakkan berjuta kenangan yang datang mengharu biru. Sesekali kuhembuskan nafas yang menyesakkan dada, kucoba membuang segala kesenduan, namun justru aku malah tenggelam dibuatnya, hingga angin meniup syahdu seolah nyanyian iba besertanya.
”Rasanya baru kemarin kita berlambai ria di sini bukan?”
Seketika Sidin tersedak, terdiam menolehku.
Terdengar riuh para nelayan yang sedang kompak mendorong perahunya menjauhi tepi. Ayahku tampak bersiap dengan segala alat dan umpan untuk mengelabuhi ikan ikan disana. ”Nak, Ayah hanya dua hari, kiranya rabu pagi Ayah sudah kembali, ambilah sendiri makan di dapur, sepertinya itu bertahan sampai besok, kau jangan lupa belajar, rapikan tumpukan bajumu itu, dan sembahyanglah!”
“Baik Ayah.” Jawabku sembari menyantap oseng cakalang yang katanya bertahan sampai besok itu.
Aku dan Sidin berlari mengekor Ayah kami, menatap dengan riang keberangkatan mereka. Silau sorot cahaya senja membersamai, nyiur yang berderet di tepi pantai itu melambai senada dengan lambaianku dan Sidin pada Ayah kami.
“Bawakan aku ikan buntal ya!” teriaku.
”Siap tuan muda.” jawab Ayah dengan teriakan yang terdengar lirih karena riuh angin telah membawanya.
Hari mulai larut, pasir pantai tak kalah empuk dari kasur penginapan bintang lima. Aku dan Sidin masih terpaku, menatap langit dengan segala aksesorisnya.
”Aku malam ini menginap di rumahmu ya.” pinta Sidin.
”Tidak tidak, aku tak sanggup mendengar celotehan Ibumu!” sahutku.
Betapa tidak, membayangkan raut wajah Bulek Sutik saja aku tak berani, ocehannya minggu lalu masih membekas rasanya, seperti komentator televisi yang didapati sedang mendeskripsikan gol pada pertandingan sepak bola. Mulutku belum mengatup, terdengar suara keras seperti komandan pleton menyiapkan barisan itu menusuk di telingaku dan Sidin. ”Sidin!” ini bencana yang paling dahsyat dari sekian bencana. Terlihat dari kejauhan Bulek Sutik dengan sorotan mata membesar, berkacak pinggang, rotan tipis panjang di tangan kirinya.
“Sidin! Apa kau sudah lupa jalan pulang? Apa kau rindu dengan rotan ini? Pulang! Kau juga!” terik Bulek Sutik dengan penuh amarah.
Matahari pagi menyapaku dengan hangat, yang ku tunggu-tunggu sudah terlihat, ya Ayahku. Kudapati dia terengah-engah membawa ember hitam berukuran tanggung itu kearahku, “Nak, lihat apa yang kubawa untukmu!”
“Banyak sekali ikan buntal ini, Yah.” Aku melompat kegirangan.
”Sesuai pesanan bukan? Besok akan Ayah bawakan lagi, kau mau apa, ikan buntal, ikan pari, cumi-cumi, bintang laut, kuda laut, atau semuanya?” imbuh Ayah.
Persis sebelumnya, rutinitas ini telah menjadi bagian dari hidupku, dan terus begitu, mungkin selamanya akan seperti itu. Saat senja. Seperti biasa, Aku dan Sidin mengantar namun kali ini mereka membawa perahu yang berbeda. ”Nak, sepertinya Ayah hanya sehari, tapi tidak bersama Paklek Mad, agar cepat dapat lebih banyak, mngkin ayah akan kembali besok di waktu seperti ini, sudah kusiapkan makanmu di dapur, jangan lupa belajar dan sembahyang!”
Sepertinya sudah menjadi ritual rutin, kami menatap dengan riang keberangkatan mereka. Cahaya senja lagi lagi membersamai, nyiur yang berderet tepi pantai ikut serta melambai, senada dengan lambaianku dan Sidin.
”Bawakan aku cumi-cumi yang besar ya!” teriaku.
Ayah tak membalasnya, mungkin suaraku terbawa oleh gemuruh angin, dari kejauhan Ayahku dan perahunya nampak seperti siluet hitam, di antara semburat senja di ujung cakrawala. Perlahan siluet itu berlayar menjauh, semakin jauh, lalu menghilang seolah senja telah melahapnya. Tidak berhenti sampai disitu, aku terus menunggu dan terus menunggu.
”Ayo segera pulang, sebelum ibuku memakiku lagi” Kata Sidin sembari menepuk pundaku.
Keesokan harinya, mentari tampak menyorot. Sidin memicingkan matanya, menyeka peluh yang mengucur deras dari pelipisnya. Wah, Paklek Mad sudah kembali lebih cepat dengan bangga berlimpah ruah tangkapannya, pasti sebentar lagi Ayahku.
”Jago sekali kau Paklek Mad, tiga keranjang penuh,” kataku.
”Ayahmu lebih jago, tunggulah, sebentar lagi dia akan datang dengan berkeranjang-keranjang.” Sahut Paklek Mad.
Tentu saja, penduduk pesisir mengakuinya, Ayahku adalah nelayan handal. Berbangga aku bercerita tentangnya. Sudah tak sabar, aku berlari-lari dari nyiur satu ke nyiur yang lain, tersenyum riang kegirangan, ku ulangi adegan itu berkali-kali, hingga nyiur pun dirasa muak. “Ayahku yang gagah itu pasti membawa cumi yang sangat besar,” harapku.
Dua jam, tiga jam, empat jam dan seterusnya. Hari semakin sore, teringat kembali ucapan Ayahku saat berpamitan, dia akan datang pada waktu seperti senja kemarin. Aku menunggu, tak beranjak sedikit pun dari tempatku berada. Namun, saat senja telah menyapa, Ayahku tak kunjung datang, terasa lelah, terasa lapar. ”Sebaiknya aku pulang saja, mungkin Ayah akan datang di senja besok,” harapku dengan penuh kegundahan di dalam hati.
Setiap hari, di tempat yang sama, senja yang sama. ”Ku lihat kau sangat rajin menyambangi tempat ini,” kata Mbah Tam, penjaga surau tepi pantai. Sepertinya beliau selalu memperhatikanku setiap hari, semua memanggilnya Mbah Tam, kali ini dia menegurku. ”Aku sedang menunggu” kataku. Tak berselang lama Mbah Tam meninggalkanku, kembali ke suraunya. Sesekali terlihat perahu datang, rasa hati sangat berbinar, namun ternyata bukan yang kutunggu, selalu pula Sidin ikut bersamaku, ”Kau tak lelah? Tunggu saja Ayahmu di rumah, pasti dia kembali, pulanglah! Ini sudah malam,” ajak Sidin. Sungguh, Sidin tak mengerti perasaanku.
”Apa kau lelah? Kalau begitu kau saja yang pulang, lagi pula aku tak menyuruhmu untuk menemaniku!” kataku, tapi aku cepat merasa menyesal telah mengatakannya.
Sidin tak berucap apapun, Ia bergegas pergi meninggalkanku, mungkin dengan kekecewaan terhadapku, meski begitu aku tak sedikit pun menghiraukannya, dengan kemudian dia tak lagi terlihat batang hidungnya.
Keesokan harinya, Aku kembali ke pantai, tempat yang sama dan waktu yang sama pula, membawa selembar kertas ujianku tadi pagi dengan coretan nilai sempurna di atasnya. Dari kejauhan aku berlari, mengangkat kertas itu ke arah langit ”Ayah, lihatlah! Katamu yang tiap hari menyuruhku belajar. Apa kau masih ingin berlama-lama di sana?” teriaku di tempat yang sama, senja yang sama.
Tak kenal lelah aku menunggu dengan harapan penuh membayangiku bahwa Ayah akan kembali bersama wajah sumringahnya dan melambaikan tangan dari kejauhan. Namun, kali ini aku benar benar lelah, sudah rabu kelima bayang bayang
”Tenanglah, Ayahmu akan kembali,” yang setiap hari terucap dari mulut semua orang ketika bertemu denganku, dan berkali-kali aku menimpali.
”Aku tak akan pernah tenang jika Ayahku belum saja kembali!”
Terlihat Bulek Sutik menghampiriku dengan rantang nasi masakannya untuku setiap hari. Heran, akhir-akhir ini dia tak pemarah. Segera aku membawanya ke pantai, menikmatinya sembari menunggu Ayahku datang. “Ayah, lihatlah! oseng cakalang Bulek Nah ini sangat asin, tidak seperti punyamu, mungkin jika kau menyantapnya, akan kau banting rantang ini tentu, ha ha ha” teriaku. Sedih itu tak lagi kukenal, seperti menyatu hingga tak terasa. Tiba-tiba, Mbah Tam sudah berdiri di sampingku, bersarung usang yang terlihat sudah tak layak di pakainya, “Setiap aku melihat senja, aku juga melihatmu. Sungguh kau sudah menjadi bagian darinya” katanya.
”Tidak, aku di sini hanya menunggu,” jawabku terhenti, dia tak menghiraukan perkataanku, selalu begitu, langsung saja pergi, ’aneh’ pikirku sekali lagi.
Sepulang sekolah, aku hanya tertunduk berjalan menuju rumah. Sidin menggandeng pundaku, ”Kau sudah tak marah padaku Din?” tanyaku, ”Aku tak pernah marah padamu” jawabnya, kami kembali berbincang, tertawa sepanjang jalan. Langkahku terhenti, menengok arah pantai, terlihat ramai, ramai sekali. Banyak orang berseragam, berpelampung, banyak pula perahu karet yang bersiap dan Paklek Mad. Aku dan Sidin menghampirinya.
“Berdoalah! Semoga Ayahmu masih hidup, mereka akan mencarinya” Paklek Mad mengusap halus kepalaku. pikirku selalu berkata ’Ayahku tak mati!’
Dua hari penuh, orang orang ramai berseragam siang itu belum saja kembali, sesaat kemudian terlihat mereka mendayung dari kejauhan ”Itu mereka! Pasti Ayahku juga” aku tersenyum kegirangan. Sidin dan Paklek Mad di sampingku sontak berdiri. Aku berlari menghampiri mereka, menghampiri semua perahu yang datang, ”Dmana Ayahku?” tanyaku. Laki-laki yang masih memakai pelampung itu tiba-tiba berlutut di hadapanku, mencengkeram kedua pundaku ”Maafkan saya.” kata-kata mula penyebab bertebarannya siaran siaran, koran koran, bisikan bisikan riuh isinya tentu, Ayahku. Masih tak menyangka ini terjadi, aku tak berdaya, tubuhku gemetar, tubuh Sidin yang ringkih itu memeluku. Hatiku berkecamuk, air mata mengucur tanpa henti.
”Hei, apa kau lupa? kau mengatakan akan kembali besok, jika besok kau tak kunjung datang, maka untuku setiap hari adalah besok, sampai kau datang, Ayah!” teriaku kepada debaran ombak yang sunyi tanpa tepi.
Aku menengok ke belakang, kudapati seluruh keluarga para nelayan memenuhi pantai, mereka melihatku iba. Senja telah datang, akupun segera menghardiknya ”Apa ini yang di serukan indah? kembalikan Ayahku! apa kau benar benar telah melahapnya ?” teriaku dengan penuh kehampaan.
Hilang, aku tak melihat lagi sebuah keindahannya, dia benar-benar melahap siluet hitam di balik cakrawala itu. Melahap ayahku, perahunya, dan melahap semua keriangan.
”Sudahlah, tujuh tahun lalu sudah sangat lampau, Rus.” Sidin menepuk punggungku.
”Aku tau itu.”
”Kau sudah berhasil bangkit, jangan berlarut membencinya, lihatlah! Datangnya hanya sesaat, tetapi dia berjanji akan selalu datang dengan indah.” Ucap Sidin, yang kian iba melihatku berlarut larut dalam penantian panjang.
”Jika mendung?” tanyaku
”Ah kau ini, aku tak membahas mendung!”
Sebelum beranjak pergi meninggalkan Sidin, Kembali kukatakan padanya “Biasa-biasa saja, Din.” dia hanya mendengus.
Surau kecil dari susunan kayu ujung pantai dengan segala keelokannya telah berkumandang, aku pun menghampiri panggilan mesra Tuhanku itu, yang tanpa berjanji pun Dia benar-benar selalu datang dan kembali. Langit bergradasi menunjukkan pesonanya, memikat para mata yang sedang memandangnya, bertaburan dengan suara debur ombak. Para penulis pun terkesima, dengan segera mengabadikannya dalam secarik karya.
”Sudah lama aku tak melihatmu, kau sangat tampan. Sempurna sudah pemandanganku sekarang, ada senja dan kau”. Terdengar suara yang sama, yang menegurku sebentar dan berlalu. Namun suara itu sudah ringkih, sedikit tidak jelas karena giginya hanya tinggal beberapa termakan usia,”
Lagi-lagi, kali ini dengan sopan, sorot cahaya senja itu menerpaku, menerpa Sidin dan menerpa Mbah Kam juga suraunya, begitu elok nan menawan, hingga kami tak mampu melukiskan, apalagi menulisnya dalam bait syahdu.
Tinggalkan Balasan